Spiga

Jumat, 19 Desember 2008

ALIRAN-ALIRAN FEMINISME


Yang dimaksud feminisme di sini adalah, suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut. Dalam pengertian seperti itu, sesungguhnya kaum feminis tidak harus perempuan, dan boleh jadi seorang Muslim atau Muslimat. Persoalan muncul ketika mereka berusaha menjawab pertanyaan ‘mengapa’ kaum perempuan didiskriminasi atau diperlakukan tidak adil ? Jawaban tersebut membedakan mereka ke dalam empat golongan sebagai berikut :


Pertama, golongan feminis liberal. Bagi mereka, mengapa kaum perempuan terbelakang adalah “salah mereka sendiri”, karena tidak bisa bersaing dengan kaum laki-laki. Asumsi dasar mereka adalah, bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada rasionalitas. Oleh karena itu, dasar perjuangan mereka adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap ‘individual’ termasuk perempuan, karena “perempuan adalah makhluk rasional” juga. Mereka tidak mempersoalkan struktur penindasan dari ideologi patriarki dan struktur politik ekonomi yang didominasi oleh laki-laki.

Golongan pertama tersebut, saat ini sangat dominan, dan menjadi dasar teori modernisasi dan pembangunan. Bagi mereka, perbedaan antara tradisional dan moderen adalah pusat masalah. Dalam perspektif feminis liberal, kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi moderen atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan. Upaya lain lebih dikonsentrasikan pada usaha pendidikan terhadap kaum perempuan maupun berbagai proyek kegiatan yang ditujukan untuk memberi peranan kepada kaum perempuan, seperti misalnya program “Women in Development” (WID).

Kedua adalah kaum feminis radikal. Meskipun banyak meminjam jargon Marxisme, namun tidak menggunakannya secara sungguh-sungguh. Bagi mereka, dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan (jaggar,1977). Dalam patriarki, yakni ideologi yang kelelakian dimana laki-laki dianggap memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi adalah akar masalah perempuan (Eisenstein, 1979, hlm.17). dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, mereka menggunakan pendekatan ahistoris, dimana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan. Mereka mereduksi hubungan gender pada perbedaan natural dan biologi. Dan karenanya, mereka melawan segala bentuk kekerasan seksual termasuk pornografi dan sexual turism. Bagi mereka, personal is political. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri. Penindasan perempuan adalah urusan ‘subyektif’ individual perempuan, suatu hal yang bertentangan dengan kerangka Marxis yang melihat penindasan perempuan sebagai ‘realitas obyektif’ .

Ketiga adalah kaum Feminis Marxis. Mereka menolak gagasan kaum radikal bahwa ‘biologi’ sebagai dasar pembedaan. Bagi mereka, penindasan perempuan adalah bagisn dari eksploitasi kelas dalam ‘relasi produksi’. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Namun, modus penindasan perempuan telah lama sebelum Zaman Kapitalisme. Karya Engels The Origin of the Family : Private Property and the State, mengupas awal jatuhnya status perempuan, yakni dimulai sejak perubahan organisasi kekayaan, yakni saat munculnya era hewan piaraan dan petani menetap, dimana menjadi awal kondisi penciptaan surplus yang menjadi dasar bagi perdagangan, dan produksi untuk exchange mendominasi produksi for use. Karena laki-laki mengontrol produk untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik masyarakat; dan akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Maka sejak saat itu, dominasi laki-laki terhadap perempuan dimulai.

Dalam era Kapitalisme moderen, penindasan perempuan diperlukan karena menguntungkan kapitalisme. Bentuk dari penindasan ini bermaca,-macam. Pertama, apa yang dikenal dengan ‘eksploitasi pulang ke rumah’. Dalam analisa ini perempuan diletakkan sebagai buruh yang dieksploitasi laki-laki di rumah tangga. Eksploitasi di rumah akan membuat buruh laki-laki di pabrik bekerja lebih produktif. Oleh karena itu, kapitalisme diuntungkan oleh eksploitasi perempuan di rumah tangga. Kedua, perempuan juga berperan dalam reproduksi buruh murah, sehingga memungkinkan harga tenaga kerja juga murah, yang akhirnya menguntungkan kapitalisme. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh- dengan upah lebih rendah- menciptakan ‘buruh cadangan’. Melimpahnya buruh cadangan ini memperkuat posisi tawar-menawar kaum kapitalis dan mengancam solidaritas kaum buruh. Kesemuanya itu mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis.

Oleh karena penganut feminisme Marxisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi kapital, dan divisi kerja internasional), maka revolusi atau memutuskan hubungan dengan sistem kapitalis internasional adalah solusinya. Setelah revolusi, jaminan persamaan saja tidaklah cukup, karena perempuan tetap dirugikan oleh tanggungjawab domestik mereka. Oleh karena itu, mengutip Engels, “Hanya jika urusan mengurus rumah tangga ditransformasikan menjadi industri sosial, dan urusan menjaga dan mendidik anak jadi urusan umum, maka perempuan tidak akan mencapai keadaan equalitas yang sejati”. Dengan demikian, emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi, dan berhenti mengurus urusan rumah tangga. Bagi teori Marxis klasik, perubahan status perempuan akan terjadi melalui revolusi sosialis, dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga) melalui industrialisasi.

Akhirnya kaum feminis sosialis, yang merupakan sintesa antara teori kelas Marxisme dan the personel is political dari radikal feminis (jaggar, 1983). Bagi mereka, penindasan perempuan ada di kelas mana pun. Mereka menolak Marxis klasik, dan tidak menganggap eksploitasi ekonomi sebagai lebih esensial daripada penindasan gender. Bagi mereka ada ketegangan antara ‘kebutuhan kesadaran feminis’ di satu pihak dan ‘kebutuhan untuk menjaga integritas materialisme Marxisme’ di pihak lain, sehingga analisa ‘patriarki’ perlu ditambahkan dalam analisa made of production. Mereka mengkritik asumsi umum, bahwa ada hubungan antara partisipasi perempuan dalam produksi dan status perempuan. Partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tetapi tidak selalu menaikkan status perempuan. Memang ada korelasi antara tingkat partisipasi dengan status perempuan, namun keterlibatan perempuan justru menjerumuskan, karena mereka dijadikan budak (virtual slaves). Bagi mereka, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih membawa pada antagonisme seksual ketimbang menaikkan status mereka. Kegagalan mentransformasikan posisi kaum perempuan di eks Uni Soviet, Cina dan Kuba membuktikan bahwa revolusi tidak serta-merta membebaskan perempuan.

sumber :Sajadah.Net/yoga

Tidak ada komentar: