Spiga

Selasa, 30 Desember 2008

Mari Berfilsafat (Bagian 5) "Makhluk yang aneh"

Sekali lagi aku katakan bahwa satu-satunya yang kita butuhkan untuk menjadi seorang filosof yang baik adalah rasa ingin tahu!

Bayi-bayi mempunyai rasa ini. Itu tidak mengherankan. Setelah beberapa bulan di dalam rahim mereka keluar dan menghadapi suatu realitas yang sama sekali baru. Tapi sementara mereka bertambah besar rasa ingin tahu itu tampaknya berkurang. Mengapa begini? Tahukah kamu?


Jika seorang bayi yang baru lahir dapat berbicara, ia mungkin akan mengatakan seuatu tentang dunia luar biasa yang dimasukinya. Kita melihat bagaimana dia melihat berkeliling dan meraih apa saja yang dilihatnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Ketika kata-kata mulai dapat di ucapkannya, anak itu akan menatap dan mengatakan “Guk-guk” setiap kali dia melihat seekor anjing. Ia melompat-lompat di dalam kereta dorongnya, melambai-lambaikan tangannya: “Guk-guk! Guk-guk! Kita yang lebih tua dan lebih tahu biasanya merasa agak kecapaian melihat semangat si anak. “Baiklah, baiklah, itu guk-guk,” kita bilang, tidak terkesan. “Ayo, duduklah yang manis.” Kita tidak terpesona. Kita sudah pernah melihat seekor anjing sebelumnya.

Pemandangan yang menggambarkan kegembiraan hatinya itu mungkin akan berulang ratusan kali sebelum si anak belajar untuk melewati seekor anjing tanpa menjadi rebut. Atau seekor gajah, atau seekor angsa. Namun jauh sebelun anak itu belajar berbicara dengan benar, dan jauh sebelun ia belajar untuk berpikir secara filosofis, dunia pasti menjadi sesuatu yang biasa baginya.

Tentu saja jangan tanya pendapatku.
Dalam tulisan ini saya hanya ingin kita tidak tumbuh menjadi salah seorang dari mereka yang menganggap dunia begini karena sudah seharusnya begitu. Sekedar untuk memastikan saja, kita akan melakukan beberapa eksperimen dalam pikiran sebelum kita mulai dengan pelajaran itu sendiri.

Bayangkan bahwa suatu hari kita keluar untuk berjalan-jalan di hutan. Tiba-tiba kita melihat sebuah pesawat ruang angkasa kecil di atas jalan di depan kita. Seorang Mars mungil memanjat keluar dari pesawat ruang angkasa itu dan berdiri di atas tanah sambil memandang kita…

Apa yang akan kita pikirkan? Pernahkah terlintas dalam benak kita tentang kenyataan bahwa sesungguhnya kita sendirilah si orang Mars itu?

Memang sangat mustahil bahwa kita akan pernah bertemu dengan seorang makhluk dari planet lain. Kita bahkan tidak tahu apakah ada kehidupan di planet-planet lain. Tapi kita mungkin akan menemukan diri kita sendiri pada suatu hari nanti. Kita mungkin akan berhenti dengan tiba-tiba dan memandang diri kita sendiri dengan suatu kesadaran yang sama sekali baru.

Nah itu tentu saja belum selesai, kisah dan contohnya kita sambung di tulisan berikutnya OK…. Selamat berpikir…

Sabtu, 27 Desember 2008

Mari Berfilsafat (Bagian 4) "Mencari Sesuatu"

Nah gimana “Mari Berfilsafat (bagian3)” seru kan…, Ok kita berlanjut lagi…

Pencarian kebenaran yang dilakukan oleh para filosof menyerupai sebuah cerita detektif. Sebagian orang berpendapat Budi adalah pembunuhnya, sementara menurut orang lain Dhani atau Tiara. Polisi kadang-kadang mampu memecahkah suatu kasus pembunuhan sungguhan. Namun kemudian pula meraka tidak pernah sampai ka dasarnya, meskipun ada pemecahan di suatu tempat. Maka meskipun sulit untuk menjawab suatu pertanyaan, barang kali ada satu dan hanya satu jawaban yang tepat. Entah itu adanya semacam eksistensi setelah kematian atau tidak ada.


Banyak teka-teki kuno yang kini telah berhasil dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Seperti apa sisi gelap bulan itu sebelumnya pernah terselubungi misteri. Dulu, itu bukanlah suatu yang dapat dipecahkan lewat diskusi, melainkan diserahkan pada imajinasi setiap individu. Tetapi kini kita tahu dengan tepat seperti apa sisi gelap bulan itu, dan tak seorang pun masih “percaya” pada Manusia di Bulan, atau bahwa bulan itu terbuat dari keju.

Seorang filsuf Yunani yang hidup lebih dari dua ratus tahun yang lalu percaya bahwa awal mula filsafat adalah rasa ingin tahu manusia. Manusia menganggap betapa menakjubkannya hidup itu sehingga pertanyaan-pertanyaan filosofis pun muncul dengan sendirinya.

Seperti menonton tipuan sulap. Kita tidak mengerti bagaimana tipuan itu dilakukan. Maka kita bertanya : bagaimana pesulap itu mengubah sepasang selendang sutera putih menjadi seekor kelinci hidup?

Banyak orang menjalani pengalaman di dunia dengan ketidak percayaan yang sama seperti ketika seorang pesulap dengan tiba-tiba menarik seekor kelinci dari topinya padahal sebelumnya telah ditunjukan bahwa topi itu kosong.

Dalam kasus kelinci, kita tahu bahwa pesulap itu telah memperdaya kita. Yang ingin kita ketahui hanyalah bagaimana dia melakukannya. Tapi jika menyangkut dunia masalahnya agak berbeda. Kita tahu bahwa dunia bukanlah hasil sulapan tangan dan tipuan sebab kita berada disini di dalamnya, kita merupakan bagian darinya.sesungguhnya, kita adalah kelinci putih yang ditarik keluar dari topi. Satu-satunya perbedaan antara kita dan kelinci putih itu adalah bahwa kelinci tidak menyadari dirinya ikut ambil bagian dalam suatu tipuan sulap. Tidak seperti kita. Kita merasa kita adalah bagian dari suatu yang misterius dan ingin tahu bagaimana cara kerjanya.

NB : Sepanjang menyangkut kelinci putih, barang kali lebih baik kita membandingkannya dengan seluruh alam raya. Kita yang hidup disini adalah serangga-serangga mikrokopis yang hidup disela-sela bulu kelinci. Namun para filosof selalu berusaha untuk memanjat helaian lembut dari bulu binatang itu untuk dapat menatap langsung kemata si tukang sulap.

Gimana temen-temen…, masih menyimakkah…, ok “Mari Berfilsafat (bagian 4)” sampai disini…, sekali lagi coba kita pahami dan resapi dari bagian 1, insya allah ada Tess…..-nya…(kayak di iklan aja..) huhuhu…

Jumat, 26 Desember 2008

Mari Berfilsafat (Bagian 3) "Hal Yang Terpenting"

Ok kita lanjutkan perenungan kita… menurut temen-temen apakah hal yang terpenting dalam kehidupan? Jika kita bertanya kepada seseorang yang sedang kelaparan, jawabannya adalah makanan. Jika kita bertanya kepada orangyang sedang kedinginan, jawabannya adalah kehangatan. Jika kita ajukan pertanyaan yang sama kepada orang yang merasa kesepian dan terasing, jawabannya barangkali adalah ditemani orang lain.

Namun jika kebutuhan-kebutuhan dasar ini telah terpuaskan, masih adakah sesuatu yang dibutuhkan semua orang? Menurut orang bijak mereka menganggapnya masih ada. Mereka yakin bahwa manusia tidak dapat hidup dengan roti semata. Sudah pasti setiap orang membutuhkan makanan. Dan setiap orang membutuhkan cinta perhatian. Namun ada yang lain, terlepas dari itu semua yang dibutuhkan setiap orang, yaitu mengetahui siapakah kita dan mengapa kita disini.


Tertarik pada pernyataan mengapa kita kita berada disini bukanlah ketertarikan “sambil lalu” seperti melihat makanan. Orang-orang yang mengajukan pertanyaan semacam itu ikut serta dalam suatu perdebatan yang telah berlangsung selama manusia hidup di atas bumi ini. Bagaimana alam raya, bumi, dan kehidupan muncul merupakan suatu pertanyaan yang lebih besar dan lebih penting dari siapa yang memenangkan medali emas paling banyal dalam Olimpiade yang baru di selenggarakan kemarin.

Cara yang terbaik untuk mendekati filsafat adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan filosofis :

Bagaimana dunia diciptakan? Adakah kehendak atau makna di balik apa yang terjadi? Adakah kehiduan setelah kematian? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya hidup?. Orang-orang telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini selama berabad-abad. Kita tidak mengenal kebudayaan yang tidak mengaitkan diri dengan pertenyaan apakah manusia itu dan dari mana datangnya dunia.

Pada dasarnya tidak banyak pertanyaan filosofis yang harus diajukan. Ita sudah mengajukan sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Namun sejarah memberi kita banyak jawaban yang berbeda untuk setiap pertanyaan. Maka adalah lebih mudah untuk mengajukan pertanyaan filosofis daripada menjawabnya.

Sekarang pun setiap individu harus menemukan jawannya sendiri untuk pertanyaanpertanyaan yang sama. Kamu tidak akan tahu apakah ada tuhan atau apakah ada kehidupan setelah kematian dengan mencarinya di buku nsiklopedia. Buku ensiklopedia juga tidak akan memberitahu kita bagaimana sebaiknya kita hidup. Namun, membaca apa yang telah diyakini ornag lain dapat membantu kita untuk merumuskan sudut pandang kehidupan kita sendiri.

Nah sampai disini dulu pembehasan kita… nanti disambung lagi…OK…

Mari Berfilsafat (Bagian 2) "Apa Hobimu?"

Hallo temen2 kita ketemu lagi... Gimana dua pertanyaan sebelumnya sudah terjawab blom...?, OK kalo belum terjawab buat PR aja ya..., yups kita masuk kebagian berikutnya, jangan lupa tarik napas dalam-dalam.... lalu keluarkan dengan pelan...., nah kalo udah kita lanjutkan...

Pernahkah menyadari bahwa kita tidak dapat merasakan hidup tanpa menyadari bahwa kita nanti harus mati....?, atau mungkin sebagian dari kita pernah bertanya “mungkin saja angkasa itu selalu ada, karena itu dia tidak perlu mencari tau darimana ia berasal”. Tapi mungkinkah sesuatu itu selalu ada?. Tapi jika angkasa berasal dari sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pasti juga berasal dari sesuatu yang lain pula. Lalu apakah sesuatu pasti berasal dari ketiadaan?, namun apakah itu mungkin?, bukankah itu sama mustahilnya dengan gagasan bahwa dunia ini selalu ada?


Mungkin disekolah kita mendapatkan pelajaran bahwa Tuhan menciptakan dunia, tapi bagaimana dengan tuhan sendiri?, apakah dia menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan?. Meskipun Tuhan dapat menciptakan segala macam benda, dia tidak mungkin dapat menciptakan dirinya sendiri sebelum dia mempunyai “diri”.

Yang mana pun jawaban dari teka-teki di atas, tentu saja ini adalah masalah keyakinan bukan...

INGAT!!! Filsafat tidak selalu berbicara mengenai ketuhanan lho..., kalo itu kan urusan agama..., nah dalam tulisan ini kita tidak mau bersaing dengan agama OK...

Nah ternyata di dunia ini banyak orang yang mempunya hobi. Sebagian orang suka mengoleksi koin kuno atau perangko luar negeri, sebagian suka merajut, yang lain mengisi hampir seluruh waktu luangnya dengan bermain game.

Banyak orang yang senang membaca. Namun selera membaca itu berbeda-beda. Sebagian orang hanya membaca koran atau komik, sebagian senang membaca novel, sementara yang lain lebih menyukai buku tentang komunikasi, ensiklopedia, atau beberapa buku tentang memasak.

Jika kebetulan kamu tertarik pada koran atau buku, kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk ikut menyukai kesenanganmu. Jika kamu suka menonton semua program berita olah raga di TV, kamu harus menyadari bahwa orang lain mungkin menganggap bahwa olah raga itu membosankan.

Tidak adakah sesuatu yang mengikat hati kita semua?, Tidak adakah sesuatu yang menyangkut kepentingan semua orang, tidak soal mereka atau dimana mereka tinggal di dunia ini?, tentu saja pasti ada masalah-masalah yang jelas akan menarik minat semua orang. Nah itulah masalah yang akan dibahas dalam tulisan berikutnya…...

Selasa, 23 Desember 2008

Mari Berfilsafat (bagian 1) "Siapa Kita?"

Wah… Tulisan sebelumnya berat-berat ya…?, maaf-maaf.., ok sekarang kita berlanjut ke pembahasan kita yang lebih ringan, eits…jangan lupa tapi seputar filsafat lho… Ok kita mulai…

Pernahkah kita semua bertanya “SIAP KITA?” nah kalo belum pernah menanyakan itu, coba sekarang kita tanyakan pada diri kita sendiri…, eits.. jangan lupa kalo bisa sambil bercermin OK!, biar punya Tes…


Nah kalo udah kita masuk ke tahap pertanyaan berikutnya>>>

“Darimana asalnya dunia…?”, jangan lupa kalo sempet sambil memandang alam atau langit saat malam hari…, lagi-lagi biar ada Tes… huhuhuhu….

Kalo udah… Ok jawabannya buat kamu sendiri lho…, ingat kalo ada yang pusing boleh ditanyakan disini…

Selamat Mencoba…

Senin, 22 Desember 2008

Riwayat Hidup Antonio Gramsci

Gramsci lahir pada tanggal 22 januari 1891, di Ales, sardinia, dan meninggal di Roma, 27 April 1973, dari keluarga yang bawah di pulau sardinia, Italia, latar belakang pendidikan yang cukup dikenal, bahwa Gramsci memasuki perguruan tinggi setelah memenangkan perolehan bea siswa di Universitas Turin, tahun 1911. itulah tahun-tahun dimana ia banyak mempelajari pemikiran filosof idealis Beneddeto Croce dan memang pada perjalananya pemikiran Croce banyak mempengaruhi pemikiran Gramsci.


Sejak dibangku kuliah Gransci juga banyak tertarik pada ‘social movement’ dan beliau sangat terkesan dengan pergerakan buruh dan mendorong dia untuk masuk pada Partai Sosialis Italia (PSI), Ia mulai menjalani kehidupan sebagai seorang aktifis dengan bekerja pada koran sosialis. Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1919 beliau memimpin pada koran ordiene nuovo sutu terbitan kaum sosialis, pada tahun 1922, terjadi perubahan perjalanannya sebagai seorang aktivis, ia pindah ke Rusia dan bekerja sebagai Comintern di Moskow dan Wina hingga tahun 1924. dan pada tahun 1926 adalah tahun paling menyedihkan dalam perjalanan kehidupan Gramsci sebagai aktivis, tetapi pada tahun tersebut merupakan awal tahun yang memebuatnya menjadi pemikir besar.

Relevanmsi pemikiran gramsci pada masa sekarang adalah konsepnya tentang hegemonik dan kaitannya tentang civil society,

Proses Hegemonik terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bahwa terutama kaum ploretar telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka, dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara suka rela oleh yang mendominasi.

Konsep hegemonik
Hegemonik adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terahadap kelas-kelas dibawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif. Hegemonik bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan dengan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemonik adalah suatu organisasi konsensus.

Hegemonik menjadi sebuah konsep.

Bagi lenin, hegemonik merupakan strategi untuk mencapai revolusi, suatu strategi yang harus dijalankan kelas pekerja da anggota-anggotanya untuk memeperoleh dukungan dari mayoritas, Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertian sehingga hegemonik juga mencakup kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaannya.

Gramsci membedakan dominasi (kekerasan) dengan kepemimpinan moral dan intelektual; suatu kelompok sosial bisa, bahkan harus, menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pememrintahan (hal ini merupakan salah satu syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut) ; kesiapan itu pada gilirannya sangat penting ketika kelompk itu menjalankan kekuasaan,bahkan seandainya kekuasaan tetap berada di tangan kelompok, mereka tetap harus tetap “memimpin”.

Jadi, Gramsci mengubah makna hegemonik dan strategi (sebagaimana menurut lenin) menjadi sebuah konsep Marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas dan negara. Menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya, ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan negara kedalam konsepnya tentang hegemonik, hegemonik merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lainnya, kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan poitik dan ideologis. Konsep ideologi dibangun dengan memasukan beberapa konsep lain yang berkaitan dengannya. Itulah sebabnya definisi yang sangat singkat tentang hegemoni tidak pernah memadai.

Namun gramsci tidak hanya menjabarkan hegemonik namun juga beberapa hal lain yakni :
Perang posisi gramsci : menurutnya apa yang dinamakan perang posisi adalah bagaimana subyek dapat mengambil concern (persetujuan-persetujuan) yang menjadi legitimasi kekuasaan yang dapat mengikat kelas-kelas sosial yang ada dalam suatu komunitas.

Revolusi pasif :
Menurut gramsci apa yang dinamakan revolusi pasif adalah revolusi yang disponsori oleh lapisan “elit”. Dan konsepsi revolusi tidak muncul dikalangan bawah atau dengan kata lain revolusi yang berasal dari top-down dan bukan sebalik,mengapa revolusi bisa juga timbul pada kalangan elit. Pertama adalah kondisi yang mengharuskan sistem mengalami pembaharuan misalnya bagaimana orde baru akhirnya membutuhkan sebuah reformasi karena sistem yang mendorong terjadinya perubahan pada tahun 1998 adalah karena sistem ekonomi yang sangat merugikan pihak-pihak yang menjadi aktor didalam bidang ekonomi dan jika model tersebut terus dipertahankan maka kerugian dikalangan borjuis makin meningkat maka untuk itu di muncul;kanlah reformasi, mengapa bisa dikatakn demikian adalah indikasi dari analisa ini adalah pada saat itu para pengusaha banyak mengalihkan modalnya kenegara lain. Dan fenomena tersebut terjadi jauh sebelum terjadinya reformasi.

Blok historis
Ketika masyarakat hegemonik saling berperang berdasarkan kepentingan dirinya maupun kelompoknya namun dalam element tersebut terjadi dominasi dari individu maupun kelompok sosial serta kelompok tersebut membentuk sebuah sejarah dan dapat mendekonstruk ulang sebuah kelompok dan survai dalam sebuah pertarungan untuk mendapatkan concern dalam sebuah kelompok.

Sabtu, 20 Desember 2008

Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah

Mengapa semua laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin? Mengapa laki-laki harus tampak jantan dan perempuan harus tampil lembut? Mengapa semua laki-laki cenderung mempunyai posisi lebih tinggi dari perempuan? Apakah hanya karena persoalan dia “laki-laki” dan dia “perempuan? Ataukah karena “dikonstruksikan secara sosial”?


Pertanyaan-pertanyaan diatas, seperti juga pertanyaan-pertanyaan tentang kematian, tuhan, dan kehidupan, mungkin adalah pertanyaan-pertanyaan abadi. Persoalan-persoalan seputar jagad perempuan dan jagad laki-laki seperti ketegangan abadi yang tidak pernah mereda.

Laki-laki, beruntung atau tidak, selalu menempati posisi lebih tinggi dari perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih sempurna dari perempuan, dan yang mengharuskan laki-laki dan perempuan bertindak sehari-hari menurut garis tradisi sedemikian rupa sehingga perempuan berada dalam posisi “pelengkap” laki-laki, semuanya berakar pada budaya patriarki.

Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term psikoanalisis yaitu “the law of the father” yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow (1992), perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.

Superioritas laki-laki atas perempuan bisa dirunut mulai dari jaman penciptaan Adam dan Hawa, jaman filosofi Yunani Kuno sampai jaman modern. Laki-laki dan perempuan tidak hanya dianggap sebagai makhluk yang berbeda, tapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan antara dunia laki-laki dan perempuan adalah “pertempuran seks” (the battle of the sexes). Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan “tidak sama”.

Kisah superioritas laki-laki atas perempuan bisa dimulai dari cerita penciptaan manusia dalam kitab suci Bibel, sebuah cerita yang sangat umum dikenal seperti ini: Adam diciptakan terlebih dulu dan Hawa diciptakan darinya. Jadi Adam adalah kreator dari Hawa, dan Hawa diciptakan untuk membantu Adam. Secara sosial dan secara moral, Adam lebih superior karena Hawa adalah penyebab kenapa mereka berdua dikeluarkan dari surga.

Phytagoras(1993), seperti dikisahkan oleh Aristoteles, membuat tabel pengklasifikasian hal-hal atau elemen-elemen yang berlawanan (oposisi biner). Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras ini terlihat bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai “berbeda” tapi juga “berlawanan”.

Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras tersebut menjadi jelas terlihat bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan-perbedaan fisik saja tapi juga bisa dihubungkan dari persoalan-persoalan lainnya. Misalnya, laki-laki diasosiasikan dengan segala sesuatu yang bermakna light, good, right, dan one. Semua metafora yang dikenakan pada laki-laki adalah yang berkenaan dengan makna Tuhan. Sementara perempuan misalnya, diidentifikasikan dengan sesuatu yang bad, left, oblong, dan darkness.

Seperti halnya Phytagoras, Aristoteles juga beranggapan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa: secara natural, laki-laki itu superior, dan perempuan itu inferior. Yang superior mengatur yang inferior, dan yang inferior harus rela untuk diatur. Tabel yang berisi elemen-elemen yang saling berlawanan juga secara gamblang menjelaskan hal ini. Secara natural laki-laki dan perempuan adalah bermakna: superior dan inferior, pengatur dan yang diatur, jiwa dan tubuh, akal dan nafsu, manusia dan binatang, atau makhluk bebas dan budak. Perempuan adalah laki-laki yang impoten. Perempuan adalah makhluk yang terdingin dan terlemah di alam. Bahkan ia mengatakan bahwa contoh yang paling baik untuk melihat segala defisiensi (kekurangan) alam adalah dengan mengamati karakter perempuan.

Alam pemikiran modern tampaknya terus berpijak pada pemikiran-pemikiran sebelumnya sehingga gagasan-gagasan tentang laki-laki dan perempuan tidak jauh mengalami perubahan atau perbedaan. Bahkan JJ. Rousseau (1993), salah seorang pemikir revolusi Prancis memulai karyanya The Social Contract dengan kalimatnya yang terkenal seperti ini: “man is born free and everywhere he is in chains”. Argumennya adalah seperti ini, “A woman’s education must therefore be planned in relation to man. To be pleasing in his sight, to win his respect and love, to train him in childhood, to tend him in manhood, to counsel and console, to make his life pleasant and happy, these are the duties of woman for all time, and this is what she should be taught while she is young”.

Dalam bahasa Kate Millet (1993) telah terjadi “politik seks” (sexual politics) pada hubungan laki-laki dan perempuan. Ini adalah efek dari konsep awal Freud tentang perempuan yang menyatakan bahwa perempuan sebenarnya adalah laki-laki yang tidak punya penis (penis envy). Menurut Millet, Freud dengan teorinya itu telah meratifikasi anjuran-anjuran tradisional dan memvalidasi perbedaan temperamental antara laki-laki dan perempuan.

Simone de Beauvoir (1981) dalam The Second Sex banyak mencontohkan wujud patriarki ini dalam bermacam-macam kebudayaan di dunia. De Beauvoir menyatakan dalam budaya Arab misalnya, seorang anak perempuan yang baru lahir sebisa mungkin akan disingkirkan karena semua bayi perempuan dianggap tidak menguntungkan dibandingkan jika mempunyai anak laki-laki. Masih menurut De Beauvoir, di negara-negara Asia dan di banyak kultur lain, ketika seorang anak perempuan masih berusia remaja, seorang ayah memegang kendali penuh atas hidupnya sampai ketika ia menikah dan kontrol itu akan beralih ke tangan suaminya. Di Tunisia, masih jadi pemandangan sehari-hari disana dimana para istri bekerja keras menyiapkan makanan di dapur atau sibuk mengurus anak-anaknya sementara para suami, si laki-laki asyik bergerombol dengan teman-temannya, sesama laki-laki di warung-warung di pasar, membicarakan dan mendiskusikan persoalan dunia.

Masyarakat India, seperti yang diceritakan oleh Kamla Bhasin (1996), mengenal konsep Pativrata (kesetiaan ibu). Konsep itu menanamkan dalam setiap kepribadian perempuan suatu pemahaman sebagai berikut: “dengan apa perempuan menerima dan bahkan menginginkan kesucian dan kesetiaan ibu sebagai ekspresi tertinggi dari kepribadian mereka”. Dengan konsep itu, para perempuan di India mau menerima apapun perlakuan suami terhadap mereka karena yang penting bagi mereka adalah menjunjung tinggi pativrata. Dan karena konsep itu disosialisasikan sendiri oleh kaum perempuan maka status rendah perempuan dengan demikian dibuat tidak terlihat dan patriarki pun dengan kuat ditegakkan sebagai ideologi yang kelihatannya alamiah.

Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan dan disosialisasikan lewat institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai kebijakan negara. Sylvia Walby (1993) membuat sebuah teori yang menarik tentang patriarki. Menurutnya, patriarki itu bisa dibedakan menjadi dua: patriarki privat dan patriarki publik. Inti dari teorinya itu adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan perempuan.

Dari teori yang dikembangkan Walby, kita bisa mengetahui bahwa patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga ini dikatakan Walby sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara. Ekspansi wujud patriarki ini merubah baik pemegang “struktur kekuasaan” dan kondisi di masing-masing wilayah (baik publik atau privat). Dalam wilayah privat misalnya, dalam rumah tangga, yang memegang kekuasaan berada di tangan individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada di tangan kolektif (manajemen negara dan pabrik tentunya berada di tangan banyak orang).

Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki itu terjadi. Para orang tua melakukan “gender” pertama-tama pada saat memberi nama kepada anak-anaknya. Anak laki-laki lazimnya diberi nama: Joko, Andi, Iwan, Budi, dan seterusnya. Sedangkan anak perempuan diberi nama: Sita, Wati, Ani, Yuli, Rina, dan lain sebagainya. Anak laki-laki belajar untuk menjadi “maskulin”, dan anak perempuan belajar untuk menjadi “feminin” dari hadiah-hadiah yang diberikan oleh ayah-ibu dan teman-teman dekat pada saat ulang tahun. Mobil-mobilan dan robot untuk anak-anak laki-laki, dan boneka serta bunga untuk anak perempuan. Hal ini berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap anak-anaknya. Anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau perangkat listrik yang rusak, sementara anak perempuan belajar memasak dan menyulam. Para orang tua cemas dan gelisah jika anak-anak mereka tidak bertingkah laku sesuai dengan garis konstruksi sosial yang telah menetapkan bagaimana seharusnya anak laki-laki dan anak perempuan itu bertingkah laku.

Hal serupa juga terjadi di institusi sekolah. Buku-buku pelajaran SD, tanpa disadari bersifat patriarkis. Buku pelajaran bahasa Indonesia misalnya, sering mengambil contoh-contoh kalimat seperti: Wati Memasak di Dapur, Budi Bermain Layang-layang, dsb. Kalimat-kalimat kategoris bernada manipulatif, yang mengkotak-kotakkan fungsi laki-laki dan perempuan sesuai nilai-nilai kepantasan tertentu yang berlaku di masyarakat: pekerjaan apa yang lazim dikerjakan anak laki-laki, dan apa yang lazim dikerjakan oleh anak perempuan.

Kamla Bhasin kemudian menceritakan dalam budaya India, seorang kenalan laki-laki yang selalu menjadi sasaran ledekan karena ia mendapat latihan sebagai penari Kathak, suka menjahit dan merajut, yang semuanya adalah aktivitas feminin, tidak cocok untuk untuk laki-laki sejati.

Dalam beberapa hal sebetulnya laki-laki juga dirugikan oleh patriarki. Dalam berbagai sistem kebudayaan, seperti juga yang dialami perempuan, mereka didesak ke berbagai macam stereotipe, dipaksa menjalankan peranan tertentu, diharuskan bersikap menurut suatu cara tertentu, terlepas mereka suka atau tidak. Mereka juga diwajibkan untuk menjalankan tugas-tugas sosial dan lainnya yang mengharuskan mereka berfungsi dalam cara tertentu. Laki-laki yang sopan dan tidak agresif dilecehkan dan diledek sebagai banci; laki-laki yang memperlakukan istrinya secara sederajat dicap “takut istri”.

Oleh Nuraini Juliastuti

Jumat, 19 Desember 2008

DUNIA PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Dunia pendidikan tinggi menjadi tolak ukur dari keberhasilan sistem pendidikan yang telah diterapkan sejak kanak-kanak. Karena di dunia inilah seorang peserta didik mulai dibenturkan dengan realitas-realitas sosial yang sangat keras dan selalu menuntut hal yang lebih dari peserta didik tersebut. Bisakah lulusan pendidikan tinggi Indonesia menerimanya? Jawabannya ialah sangat sedikit yang dapat bertahan. Ini dapat dilihat berdasarkan sebuah parameter dimana si lulusan pendidikan tinggi mempunyai cara yang inovatif dan kreatif dalam menjalani tugasnya di lingkungan baik itu masyarakat atau di bidang industri sekalipun. Apalagi dengan melihat parameter tingkat pengangguran yang sangat besar.

Unpad sebagai salah satu dari sekian banyaknya institusi pendidikannya pun tidak jauh berbeda dengan institusi Pendidikan lainnya, hanya membuat peserta didik hanya menjadi mesin penghafal ilmu yang kemudian berimplikasi pada peserta didik yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang ada baik dimasyarakat maupun pada negara, bahkan pada pembukaan undang-undang dasar negara dicantumkan bahwasanya, negara harus “mencerdaskan” kehidupan bangsa, bukan “memintarkan” bangsa. Dari sisi fasilitas Unpad yang menyokong dari untuk kecerdasan anak didik yang kemudian berimplikasi pada inovasi dan kreatifitas anak didik pun masih sangat minim. Kemudian rasio dosen dengan mahasiswa bukan hitungan rasional, bagaimana satu dosen membimbing kurang lebih 50 mahasiswa implikasinya kemudian dosen kurang memonitoring pada tingkat kecerdasan mahasiswanya.
Kadang kita mempunyai impian dan harapan kemudian keyakinan bahwasanya kita dengan melakukan pendidikan maka kita telah mengikuti prasyarat untuk menjadi orang yang berguna yang mampu menyelesaikan segala permasalahan yang ada, namun sebenarnya apakah pernyataan itu kemudian terjadi pada kenyataannya.
Coba renungkan pada diri kita masing-masing apakah kita telah cukup menjadi orang yang berguna paling tidak pada keluarga atau masyarakat disekitar kita. Kenyataan berucap lain bahwasanya pendidikan tidak cukup mempunyai itu, out put pendidikannya masih lemah dalam berkompetisi dengan institusi pendidikan di luar negeri jika kita membandingkan dengan Amerika serikat, Malaysia. Persoalannya bukan pada pendidikan itu sendiri namun lebih pada formasi pendidikan dan metode yang digunakan pun kemudian tidak cukup efektif dalam mencetak peserta didik yang mempunyai kreatifitas, inovasi dalam berfikir atau singkatnya peserta didik tidak dituntut untuk berfikir tentang realita yang terjadi, kemudian pendidikan seolah menjadi dunia tersendiri yang lepas dari kehidupan disekitarnya. Namun lagi-lagi kenyataannya kita memang harus mengenal realita disekitar kita tentang segala persoalan yang menghampiri. Bahkan output pendidikan pun tidak menjamin untuk dapat bersaing terbukti pengangguran banyak. Bahkan kemudian pendidikan mengalami kesengsaraan yang ditimbulkan oleh movemennya sendiri.
Dunia pendidikan tinggi menjadi tolak ukur dari keberhasilan sistem pendidikan yang telah diterapkan sejak kanak-kanak. Karena di dunia inilah seorang peserta didik mulai dibenturkan dengan realitas-realitas sosial yang sangat keras dan selalu menuntut hal yang lebih dari peserta didik tersebut. Bisakah lulusan pendidikan tinggi Indonesia menerimanya? Jawabannya ialah sangat sedikit yang dapat bertahan. Ini dapat dilihat berdasarkan sebuah parameter dimana si lulusan pendidikan tinggi mempunyai cara yang inovatif dan kreatif dalam menjalani tugasnya di lingkungan baik itu masyarakat atau di bidang industri sekalipun. Apalagi dengan melihat parameter tingkat pengangguran yang sangat besar
Unpad sebagai salah satu dari sekian banyaknya institusi pendidikannya pun tidak jauh berbeda dengan institusi Pendidikan lainnya, hanya membuat peserta didik hanya menjadi mesin penghafal ilmu yang kemudian berimplikasi pada peserta didik yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang ada baik dimasyarakat maupun pada negara, bahkan pada pembukaan undang-undang dasar negara dicantumkan bahwasanya, negara harus “mencerdaskan” kehidupan bangsa, bukan “memintarkan” bangsa. Dari sisi fasilitas Unpad yang menyokong dari untuk kecerdasan anak didik yang kemudian berimplikasi pada inovasi dan kreatifitas anak didik pun masih sangat minim. Kemudian rasio dosen dengan mahasiswa bukan hitungan rasional, bagaimana satu dosen membimbing kurang lebih 50 mahasiswa implikasinya kemudian dosen kurang memonitoring pada tingkat kecerdasan mahasiswanya.
Kadang kita mempunyai impian dan harapan kemudian keyakinan bahwasanya kita dengan melakukan pendidikan maka kita telah mengikuti prasyarat untuk menjadi orang yang berguna yang mampu menyelesaikan segala permasalahan yang ada, namun sebenarnya apakah pernyataan itu kemudian terjadi pada kenyataannya.
Coba renungkan pada diri kita masing-masing apakah kita telah cukup menjadi orang yang berguna paling tidak pada keluarga atau masyarakat disekitar kita. Kenyataan berucap lain bahwasanya pendidikan tidak cukup mempunyai itu, out put pendidikannya masih lemah dalam berkompetisi dengan institusi pendidikan di luar negeri jika kita membandingkan dengan Amerika serikat, Malaysia. Persoalannya bukan pada pendidikan itu sendiri namun lebih pada formasi pendidikan dan metode yang digunakan pun kemudian tidak cukup efektif dalam mencetak peserta didik yang mempunyai kreatifitas, inovasi dalam berfikir atau singkatnya peserta didik tidak dituntut untuk berfikir tentang realita yang terjadi, kemudian pendidikan seolah menjadi dunia tersendiri yang lepas dari kehidupan disekitarnya. Namun lagi-lagi kenyataannya kita memang harus mengenal realita disekitar kita tentang segala persoalan yang menghampiri. Bahkan output pendidikan pun tidak menjamin untuk dapat bersaing terbukti pengangguran banyak. Bahkan kemudian pendidikan mengalami kesengsaraan yang ditimbulkan oleh movemennya sendiri.


Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD Unpad

Jalan Sufi

Menurut jalan kaum sufi, orang yang telah mencapai keadaan sadar lahir batin, dan yang telah berhasil mencapai suatu titik keseimbangan dan sentralitas, dapat menolong orang lain dan menggambarkan kepada mereka keadaan kemajuannya. Karena itu kita dapati bahwa sepanjang zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya dalam semua tahap kemajuan.


Kita harus membedakan antara istilah "keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam). Yakni perbedaan antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat diraba atau dirasakan. Kadang- kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari (salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak cukup. Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka mendampingi dan berhubungan dengan orang- orang yang berada pada jalan itu adalah suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya.

Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika atau ilmu alam, di mana tak pelak lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang diri (nafs). Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini. Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya, dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan adalah obat "hati", yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah dicapai.

Adapun terhadap pertanyaan apakah yang terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Di antara orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pemah saya temui, sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam, syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda- beda, tetapi seorang pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang menaati batas-batas yang ditetapkan oleh syariat sangat memperhatikan perkembangan batin.

Hakikat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan wama serta profil yang berbeda-beda. Makin dekat orang meridatangi sumber cahaya, makin sedikit ia melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi sejati secara beriar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi. Adalah keliru mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus atau penipu.

Ketika si pencari berkembang dan bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pem- bimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.

Lantas timbul pertanyaan besar, bagaimana cara si pencari mendapatkan syekh sufi yang sejati? Atau, bagaimana dapat meyakini kualitas syekh tersebut? Para pengikut tradisi esoterik dan kebatinan percaya bahwa rahmat Allah menembus dan meliputi setiap situasi dan segala sesuatu. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan pengenalan terhadap kebutuhan. Dan dengan rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi si pencari.

Seorang guru spiritual sejati harus mempunyai kualitas-kualitas dasar yang layak, sebagaimana seorang dokter harus memenuhi persyaratan dasar yang primer sebelum ia melakukan praktik kedokteran. Sebagai permulaan, seorang pemandu spiritual, yakni syekh sufi, harus mengetahui segala aspek lahiriah dari jalan Islam yang asli dan jalan hidup Islam. la harus sepenuhnya mengenal pengetahuan dan amalan Islam. la harus menerapkan apa yang ada dalam AI-Qur'an dan sunah Nabi. Apabila ia tidak mengamalkan hukum-hukum lahiriah, bagaimana mungkin ia mempraktikkan aspek- aspek batin dari jalan hidup ini, apalagi menganjurkan orang lain untuk mengamalkannya? Maka guru spiritual yang sejati harus menghayati sendiri dengan se- penuhnya peraturan-peraturan lahir dan batin dalam Islam.

Syarat lain bagi seorang syekh sufi sebagai guru sejati adalah bahwa ia harus telah mencapai pencerahan yang sesungguhnya dengan mencapai pengetahuan yang sempuma tentang diri. Syekh harus mengetahui cakrawala diri (nafs) yang luar biasa luasnya. Barang siapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenal Tuhannya.

Seorang syekh sufi sejati juga harus sudah mendapat izin secara ikrar untuk pergi dan m'embimbing orang lain pada jalan pengetahuan-diri, oleh seorang guru yang telah mencapai pencerahan dan berpengalaman serta telah diizinkan untuk mengajar, dan seterusnya, sampai kepada Nabi Muhammad saw. Karena, ada orang-orang yang tetap menaati batas lahiriah syariat Islam, ada yang telah mencapai pengetahuan-diri, ada pula yang telah mencapai makrifat dan pengetahuan tentang diri, namun mereka tak mampu membimbing orang lain. Sebagaimana tidak cukup bagi seorang dokter hanya dengan sekedar mengkaji dan lulus ujian, serta mengamati dan menjadi asisten dokter lain, se- belum ia dapat membuka praktik sendiri. la juga harus diberi izin atau lisensi untuk praktik dokter oleh seorang dokter berkualifikasi yang puas dengan kemampuannya untuk berpraktik.

Syarat lainnya ialah bahwa harus ada seorang pencari yang menerima pengetahuan dari syekh sufi, sebagaimana harus ada pasien sebelum dokter dapat mempraktikkan kedokterannya. Akhimya, sebagaimana tak ada gunanya bagi seorang dokter untuk mengurus orang sakit apabila si pasien tidak mampu atau tidak mau menerima obat atas penyakitnya, maka tak ada gunanya syekh sufi apabila si pencari tidak sungguh- sungguh mengikutinya.

Sekarang kita sarnpai pada hubungan antara pencari dan guru. Sejauh mana orang sakit mengarnbil maslahat dari dokter tergantung pada sejauh mana kepercayaannya terhadap obat yang diresepkan dan kerajinannya mengikuti resep itu. Prinsip yang sarna, hanya diperbesar, berlaku pada ilmu pengetahuan-diri dan tasawuf. Akhirnya, yang penting adalah ketajarnan dan kehalusan pemaharnan antara si syekh sufi dan si murid. Jarak hubungan mereka yang hakiki akan menentukan kecepatan si pencari dalarn mengarnbil dan menyerap warna dan pengertian si guru. Guru itu bagaikan sebuah garpu tala, dan apabila si murid mem- biarkan dirinya secara total bergetar dalam gaungnya, yakni sepenuhnya mengikuti gurunya, maka ia akan segera menyanyikan lagu yang sarna dengan guru spiritualnya. Ini tidak terjadi dengan serta-merta, tapi dapat berkembang dan berevolusi dengan menanyakan, menguji dan menyesuaikan, sarnpai si pencari mempercayai gurunya sepenuhnya. Akan datang suatu waktu ketika komitmen total harus dibuat. Si pencari akan memasuki suatu perjanjian yang disebut inisiasi (pelantikan) .

Upacara inisiasi telah meryadi suatu peristiwa penting di kalangan banyak tarekat sufi. Banyak sufi semu telah menirunya dan telah membumbuinya lebih jauh serta menempelkan nilai-nilai mistik kepadanya. Satu contoh ialah praktik-praktik rahasia kaum Freemason. Dalarn kelompok ini, bila seorang anggota mencapai level tertentu di dalarn "tarekat" itu, ia dikubur hidup-hidup untuk sementara dalam sebuah peti mati, yang secara simbolis menyiratkan pengalarnan pribadi tentang kematian, sementara masih berada dalam kehidupan dunia ini. Setelah beberapa saat ia dikeluarkan dari peti mati dan "dikembalikan" kepada kehidupan ini. Nabi Muhammad saw berkata, "Matilah sebelum kamu mati," yang artinya melakukan pelepasan dan kebebasan sebelum terjadi peristiwa pelepasan dari jasad Anda.

Fondasi inisiasi adalah suatu ikatan atau peIjanjian yang mempersatukan guru dan murid. Perjanjian tersebut tidak tertulis dan karena itu mengambil bentuk baiat (sumpah setia) .Si pencari setuju untuk menaati si guru, dan si guru setuju untuk mengurus kemajuan si murid serta membimbingnya.

Kebalikan dari inisiasi, yakni pengusiran, kadang- kadang juga terjadi ketika si guru dan murid mencapai suatu keadaan di mana ikatan antara keduanya menjadi tak berlaku dan hubungan itu mati. Ada kalanya pencari meninggalkan gurunya dan menyoroti segala yang nampak tidak menyenangkan pada si guru. Kemarahan si pencari menyebabkan ia melihat semua aspek negatif dari hubungan itu, dan menurut penglihatannya sia- sialah segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Bagi si guru, si pencari yang minggat dengan kemarahan itu adalah seorang korban baru dari nafsu yang rendah dalam diri manusia.

Derajat kecanggihan dan kompleksnya peraturan inisiasi nampaknya banyak tergantung pada kecenderungan syekh sendiri, dan pada lingkungannya. Beberapa syekh tertarik pada upacara-upacara, pada hierarki, dan pada pemberian nama-nama kepada orang sesuai dengan kedudukan (maqam) dan kapasitasnya, seperti, misalnya, para syekh Sanusi di Libya yang secara spiritual, sosial, politik, dan ekonomi memimpin dan menguasai jaringan desa dan kota yang sangat luas selama hampir satu abad. Di sisi lain. beberapa svekh tidak menggunakan bentuk formal atau seremonial dalam inisiasi, entah karena watak dari kedudukan mereka dalam masyarakat atau karena mereka tidak memandangnya perlu. Jadi, lingkungan sosio-kultural dan pembawaan para syekh itu sendiri merupakan dua faktor utama yang menentukan derajat formalitas dalam setiap tarekat sufi.

Tujuan terakhir dari syekh sufi ialah membantu muridnya untuk menemukan Kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, pentinglah menemukan sebab-sebab ketidakbahagiaan. Sebab hakiki dari semua ketidakpuasan berakar pada pelanggaran batas-batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain seperti kurangnya pemahaman tentang alam Hakikat Dari sisi pandang kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syariat, seperti salat, puasa di bulan Ramadan, zakat, naik haji ke Mekah, dan seterusnya, walaupun wajib, tidaklah cukup bagi kebanyakan manusia yang sakit dalam rumah sakit besar bernama dunia ini. Dunia adalah rumah sakit Tuhan, dan para rasul, nabi, serta para wali atau syekh sufi adalah dokter jiwanya. Karena ada berbagai jenis penyakit, maka bangsal rumah sakit pun berbeda-beda. Ada klinik di mana pasien tidak tinggal lama ada kamar di mana pasien tinggal beberapa minggu atau bulan; dan ada kamar bedah di mana dokter, atau syekh sufi, terus sibuk "mengoperasi" pasien-pasiennya. Kita dapati pula "obat-obat" diresepkan sesuai dengan keperluan khusus si pasien, dengan mempertimbangkan ling- kungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.

Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ke tingkat di mana ia mampu membaca "kitab" yang ada di dalam "hati"-nya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syekh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri. Proses ini, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkat- kan apabila lingkungan maupun pendampingannya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak, dan bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari atau murid tidak ingin maju. Si penempuh jalan (salik) bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan (suluk), sekalipun tinggal selangkah lagi. Namun, kadang-kadang, sekalipun si murid ingin maju, tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan harapan. Syekh al-Faituri (m. 1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru dalam salah satu syairnya:

Betapapun besar si guru berusaha. Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusyuknya dia [beribadat] siang dan malam, Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.

Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah ditertibkan sampai ke titik di mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari kondisi meditasi (khalwat) Sejak itu seterusnya, hanya Allah yang dapat menolong dia Jadi, si pencari harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran Iagi tidak berada dalam kekuasa- annya Anda naik setinggi Anda dapat memanjat, lalu berserah diri!

Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan spiritual (suluk) tidak menurut garis lurus. Menurut studi mekanistis, seperti mempelajari bahasa, kemajuan itu betjalan agak lurus. Makin banyak waktu yang Anda curahkan untuk mempraktikkan bahasa, makin cakap Anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat diukur, dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh. Di sisi lain, ilmu kebatinan, dapat diukur tetapi sukar. Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan sekarang ini juga, maka kebangunan akan segera tercapai. Apabila tidak demikian, ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus-menerus, dan penderitaan yang tak henti-henti untuk dapat sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu, dan kemudian tiba-tiba saja dalam dua hari segala sesuatu terjadi. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun menaati gurunya, dan merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam kenyataannya mungkin amat banyak "karat" spiritual telah disingkirkan selama waktu itu. Seperti menyingkirkan karat setebal beberapa inci, dan masih belum dapat melihat dasar logam di bawahnya, padahal logam itu mungkin sebenarnya hanya tinggal satu milimeter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian "hati " dan kemauan untuk menanggalkan keterikatan. Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada nahi. Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh hubungan sebab-akibat. Kemudian, kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri. Sesudah itu, ketundukan yang sederhana membawanya kepada ketundukan yang lebih manis dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan. Murid terdekat Syekh Sufi Imam Junaid bernama Syibli. Imam Junaid (m. 910) sangat mencintainya. Pernah, dalam suatu pertemuan, salah seorang anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaid menyela lalu mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia telah pergi, Imam Junaid berkata, "Saya melindunginya dengan perisai penghinaan dari panah berbisa pujian yang berlebihan." Karena, Imam Junaid tahu bahwa Syibli hampir mencapai suatu maqam spiritual, dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.

Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan. Ada anekdot tentang Imam Abu Hamid al-Ghazzali (m. 1111) sehubungan dengan ini. Ketika Imam Ghazzali meninggalkan Baghdad untuk mencari syekh sufi, ia telah memperoleh semua pengetahuan lahiriah dari ilmu-ilmu Islam, tetapi batinnya yang terdalam belum terbangun. la membawa dua ekor keledai yang dimuati buku. Di tengah jalan ia dihentikan oleh seorang perampok yang hendak mengambil buku-bukunya. Imam Ghazzali menawarkan apa pun kepada perampok itu kecuali buku, tetapi si perampok hanya menghendaki buku, lalu mengambilnya. Tujuh atau delapan tahun kemudian, ketika Imam Ghazzali telah memenuhi pencarian sufinya, seseorang datang ke hadapannya di Mekah. Rupanya ia Nabi Khidr, yang memberitahukan kepada Imam Ghazzali bahwa jika bukan karena perampokan buku-bukunya, maka ia akan tetap mejadi budak buku-buku itu dan tidak akan menemukan "Buku" pengetahuan sesungguhnya yang berada di dalam hati setiap orang. Imam ' Ali berkata dalam hal ini, "Anda adalah 'Buku' [asli] yang terang."

Buku diperlukan pada awalnya sebagai alat bantu untuk penemuan batin, tetapi bila seseorang menjadi lebih kuat dengan pengetahuan batin, ia kurang memerlukan bantuan dari luar. Buku adalah seperti kursi dorong yang diperlukan seorang anak hanya pada awal kehidupannya. Namun sayangnya, banyak orang yang disebut ulama mempertahankan kursi dorongnya sepanjang sisa hidupnya. Di sisi lain, banyak sufi semu cenderung untuk membuang bukan saja buku tetapi juga bacaan hafalan sebagai barang yang sama sekali tidak diperlukan. Sikap meremehkan ini tak lain adalah bentuk pengangkatan diri, yang merupakan pemutarbalikan dan penyimpangan dari jalan spiritual yang sesungguhnya. Kitab-kitab dan bacaan merupakan alat bantu yang penting untuk membantu kebangunan batin, yang tak dapat diandalkan sepenuhnya dan tak boleh diabaikan sama sekali.

Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi. Istilah ini berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarani, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad saw. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya, kabarnya Nabi saw menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, ..Mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." la juga biasa mengatakan, ..Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan ..Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya." Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.

Segelintir sufi semu yang tidak mengikuti, dan tidak ingin mengikuti, seorang guru spiritual sejati untuk membimbingnya pada jalan spiritual, memanfaatkan situasi itu dan dengan tidak benar menamakan dirinya Uwaisi. Ini adalah salah satu taktik dan penipuan dari nafsu rendah yang tidak ingin diurus atau tunduk kepada Allah. Uwaisi sejati yang sebenarnya adalah langka. Orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tasawuf mengikuti suatu jalan perbaikan-diri, kesadaran- diri, dan kebangunan-diri, dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh syekh sufi.

Apa Itu Tasawuf?

Pengertian tasawuf yang jelas masih sangat jarang di mengerti oleh orang banyak. Istilah "tasawuf" (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.


Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.

Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.

Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.

Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:

• Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meningga1kan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:


Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."

• Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):

Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.

• Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".

Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke- baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe- ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.

Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik

Konsep Alienasi menurut Marx

Alienasi menurut Marx bukan hanya berarti bahwa manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga berarti bahwa dunia ( alam, benda dan manusia sendiri) tetap asing bagi manusia. Dunia berdiri diatas dan menentang manusia sebagai objek, meskipun dunia bisa menjadi objek ciptaan manusia. Alienasi pada dasarnya melanda dunia dan manusia secara pasif dan reseptif sebagai subyek yang terpisah dengan objek.

Seluruh konsep alienasi ini di ungkapkan pertama kali dalam dunia barat pada konsep pemujaan berhala dalam konsep perjanjian lama essensi apa yang disebut para nabi sebagai “Syirik” bukanlah manusia menyembah banyak Tuhan, meskipun sebenarnya hanya ada satu Tuhan. Syirik itu berarti pemujaan pada karya tangan manusia sendiri, yakni barang-barang; manusia tunduk dan menyembah barang-barang; menyembah apa yang diciptakannya sendiri. Dalam melakukan hal ini manusia mentransformasikan diri menjadi sebuah barang. Dia berubah menjadi barang ciptaannya sendiri. Dan dia hanya berhubungan dengan dirinya sendiri ketika mengalami musyrik, dia terpisah dari kekuatan-kekuatannya sendiri, dari kekuatan potensialitas sendiri. Dan dia hanya dapat berhubungan dengan dirinya secara tidak langsung, serta tunduk pada hidupnya yang membeku dalam berhala-berhala.
Semakin manusia memindahkan kekuasaannya pada berhala-berhala, semakin dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan semakin ia bergantung pada berhala-berhala, semakin sedikit bagian dari dirinya yang asli yang dapat diperolehnya. Syirik ini tidak hanya mengubah status objek-objek tersebut, dan syirik ini tidak berarti menyembah objek-objek tersebut yang kemudian memiliki apa yang disebut makna religius. Syirik selalu pemujaan pada sesuatu, dan dengan cara ini manusia memberikan kekuasaan kreatifnya kepada sesuatu ini. Manusia tunduk kepadanya, meskipun manusia masih berperilaku kreatif. Diantara banyak bentuk alienasi, yang paling sering muncul adalah alienasi bahasa. Jika saya mengungkapkan perasaan saya dengan sebuah kata, misalnya saya mengatakan, “I Love You”, kata ini diartikan sebagai indikasi sebuah realitas yang ada dalam diri saya, yakni kekuasaan mencintai yang saya miliki. Kata “Cinta” dimaknai sebagai simbol fakta adanya cinta, tetapi segera setelah diucapkan kata itu cenderung mengasumsikan kehidupan cinta itu sendiri, kata tersebut menjadi sebuah realitas. Saya sedang dalam ilusi bahwa mengatakan kata tersebut sama dengan mengalaminya, dan segera setelah mengatakan kata”cinta” itu,saya tidak merasakan apa-apa, kecuali pemikiran tentang cinta yang diungkapkan oleh kata tersebut. Alienasi bahasa menunjukan seluruh kompleksitas alienasi. Bahasa merupakan prestasi manusia yang paling tinggi. Tetapi menghindari alienasi dengan tanpa berkata-kata merupakan kebodohan. Orang harus selalu menyadari adanya bahaya yang ditimbulkan oleh kata yng telah diucapkan, karena kata yang telah diucapkan akan mengantikan dirinya dengan pengalaman yang hidup. Alienasi yang sama juga mengancam seluruh prestasi manusia lainnya yakni ide, seni dan objek-objek buatan manusia. Semua ini adalah ciptaan manusia, alat bantu yang berharga bagi kehidupan manusia; setiap alat bantu merupakan perangkat, godaan untuk membinggungkan hidup dengan barang-barang, pengalaman dengan artefak, perasaan dengan penyerahan dan ketundukan.
Bagi Marx, proses alienasi diungkapkan dalam kerja dan pembagian buruh. Kerja baginya adalah keterhubungan aktif manusia dengan alam, penciptaan sebuah dunia baru, termasuk penciptaan dirinya sendiri. (aktifitas intelektual tentu saja bagi Marx kerja, sebagaimana aktifitas manual atau seni.) tetapi karena kepemilikan pribadi dan pembagian buruh berkembang, buruh menjadi kehilangan sifatnya yang merupakan ungkapan dari kekuasaan manusia; buruh dan produk-produknya mengasumsikan sebuah eksistensi yang terpisah dari manusia, keinginan dan rencananya. “Objek yang dihasilkan buruh, produknya, ini bertentangan dengan dirinya; objek itu menjadi makhluk asing dan kekuasaan yang terbebas dari pembuatannya. Produk buruh adalah buruh yang telah diwujudkan dalam sebuah objek dan berubah menjadi objek fisik; produk ini merupakan objektifikasi buruh.” Buruh teralienasi karena kerja telah berhenti menjadi bagian sifat pekerja dan “konsekuensinya, buruh tidak memenuhi dirinya dalam pekerjaannya, tetapi menolak dirinya, memiliki perasaan sengsaraan daripada menjadi makhluk yang baik, tidak mengembangkan energi mental dan fisiknya secara bebas, tetapi tenaganya terkuras dan mentalnya terserabut. Oleh karena itu, pekerja merasa dirinya nyaman hanya selama masa senggangnya, sedangkan ketika bekerja dia merasa tidak nyaman.” Maka, ketika melakukan produksi, hubungan antara pekerja dan aktifitasnya dialami “sebagai sesuatu yang asing dan tidak menjadi miliknya, aktifitas sebagai penderitaan (pasifitas), kekuatan sebagai ketidak berdayaan, penciptaan sebagai pengebirian.” Ketika manusia kemudian teralienasi dari dirinya, produk buruh menjadi “sebagai objek asing yang menguasainya. Hubungan ini pada saat yang bersamaan merupakan hubungan dengan dunia eksternal dengan objek-objek alam, sebagai dunia yang asing dan bermusuhan.” Marx menekan dua hal : pertama, dalam proses kerja, khususnya kerja dalam kehidupan kapitalisme, manusia diciptakan dari kekuasaan kreatifnya sendiri; dan kedua, objek-objek kerjanya sebagai makhluk-makhluk asing, dan akhirnya menguasainya, menjadi kekuasaan yang independen dari pembuatnya.“ buruh ada untuk proses produksi, dan bukan proses produksi ada untuk buruh,”
Marx melanjutkan lebih jauh. Dalam kerja yang tidak teralienasi manusia bukan hanya mewujudkan dirinya sebagai seorang individu, tetapi juga sebagai sebuah makhluk species. Bagi marx, juga bagi Hegel dan banyak pemikir abad pencerahan lain, setiap individu mempresentasikan species, yakni kemanusiaan sebagai keseluruhan universalitas manusia : perkembangan manusia terhamparnya seluruh kemanusiaannya. Dalam proses kerja, manusia “ tidak lagi memproduksi dirinya hanya secara intelektual, sebagaimana dalam kesadaran, tetapi secara aktif dan penuh rasa, dan melihat bayangnya sendiri disebuah dunia yang telah dibentuknya. Oleh karena itu ketika buruh yang teralienasi oleh produksinya dari manusia, dia juga menjauhkan kehidupan speciesnya, objektifitas nyatanya sebagai sebuah makhluk species, menghilangkan kelebihannya dibanding binatang, begitu jauh sehingga tubuh anorganis dan wataknya lenyap. Hanya ketika buruh teralienasi mentransformasikan aktifitasnya secara bebas dan memiliki tujuan sendiri menjadi sebuah alat, dia mentransformasikan sebuah species manusia, menjadi alat eksistensi fisik. Kesadaran, yang memiliki manusia dari speciesnya, ditransformasikan melalui alienasi sehingga kehidupan species menjadi sebuah alat untuknya.”
Marx berasumsi bahwa alienasi kerja yang mengalir sepanjang sejarah mencapai puncaknya dalam masyarakat kapitalis, dan bahwa kelas pekerja menjadi kelompok yang paling teralienasi. Asumsi ini didasarkan pada ide bahawa pekerja, yang tidak mempunyai peran untuk menentukan arah kerjanya, yang dipekerjakan sebagai bagian dari mesin yang dilayani, ditransformasikan menjadi barang yang bergantung pada modal. Oleh karenanya, bagi Marx,”pembebasan masyarakat dari kepemilikan pribadi, dari perbudakan,mengambil bentuk politik sebagai pembebasan para pekerja; bukan dalam pengertian bahwa hanya pembebasan pekerjalah yang muncul tetapi pembebasan ini mencakup pembebasan kemanusiaan secara keseluruhan. Perbudakan itu terjadi dalam hubungan antara pekerja dan produksi dan semua jenis perbudakan hanya merupakan modifikasi atau konsekuensi dari hubungan ini.”
Alienasi kerja dalam produksi manusia jauh lebih besar daripada alienasi yang terjadi ketika produksi dikerjakan dengan keterampilan tangan.”di Industri kerajinan, pekerja memanfaatkan sejumlah alat bantu, tetapi di pabrik, pekerjalah yang harus mengikuti gerakan mesin. Di Industri kerajinan, para pekerja merupakan bagian dari sebuah dari sebuah mekanisme hidup, sedangkan di pabrik kita menjumpai sebuah menkanisme tanpa nyawa, terbebas dari pekerja, yang sekedar menjadi tambahan yang bernyawa.” Demikian hal-hal terpenting yang harus diketahui untuk memahami konsep alienasi Marx yang tetap menjadi fokus pemikiran Marx muda yang menulis Manuskrip tentang ekonomi dan filsafat, dan Marx tua yang menulis Capital. Selain contoh-contoh yang telah dipapakan diatas kutipan-kutipan berikut, satu dari manuskrip tentang ekonomi dan filsafat, dan satu dari Capital, akan ebih menjelaskan kelanjutan pemikiran Marx :
“Fakta sederhana ini mengimplikasikan bahwa objek hasil produksi buruh, produknya, kini menentangnya, sebagai barang asing,kekuasaan yang terbebas dari pembuatannya. Produk buruh ini adalah buruh yang telah mewujud menjadi sebuah objek dan kemudian berubah menjadi sebuah barang fisik; produk ini merupakan objektifikasi buruh. Bentuk kerja padasaat yang bersamaan menjadi objektifikasi. Bentuk kerja dilihat oleh ekonomi politik sebagai peniadaan buruh, objektifikasi sebagai penghilangan dan sebagai ketundukan pada objek, dan apropriasi sebagai alienasi.”

Kemudian yang ditulis Marx dalam Capital: “ Di dalam sistem kapitalis, semua metode untuk membangkitkan produktivitas sosial buruh dihasilkan oleh buruh individual;semua alat untuk mengembangkan produksi mengubah dirinya menjadi sebuah alat untuk menguasai dan untuk mengeksploitasi pembuatnya. Alat-alat tersebut merusak buruh sehingga menjadi sekedar bagian dari manusia, mendegardasikan manusia sampai menjadi bagian dari mesin, menghancurkan setiap sisa daya tarik dalam kerjanya dalam mengubah buruh menjadi pekerja yang dibenci. Alat-alat tersebut memisahkan potensialitas intelektualnya daridiri buruh sebagaimana sains yang dimilkinya sebagai sebuah kekuasaan yang independen.”
Bagi Marx Alienasi dalam proses kerja, dari produk kerja dan lingkungan, tidak bisa dipisahkan dengan alienasi dari diri manusia sendiri, dari sesama manusia dan alam. Manusia yang teralienasi ini bukan hanya teralienasi dari dari sesamanya, tetapi juga teralienasi dari ke-ada-an speciesnya, kedua alienasi bersifat alamiah dan spiritual. Alienasi dari esensi manusia mengarah pada egotisme eksistensial, yang digambarkan Marx sebagai esensi manusia yang menjadi” sebuah alat eksistensi individualnya. Buruh yang teralienasi itu terasing dari tubuhnya sendiri, alam eksternal, kehidupan mental da kehiduan manusia.”
Alienasi mengarah pada pemeliharaan semua nilai. Dengan membuat ekonomi dan nilai-nilainya-“keuntungan kerja, hemat dan ketenangan hati”-sebagai tujuan hiudp yang tertinggi, manusia telah gagal mengembangkan nilai-nilai yang tertinggi,manusia gagal mengembangkan nilai-nilai moral yang benar,”kaya dengan hati nurani, kebenaran dan lain sebagainya. Bagaimana saya dapat menjadi benar jika saya tidak hidup, dan bagaimana saya dapat memiliki hati nurani jika saya tidak menyadari segala sesuatu?”. Dalam keadaan teralienasi,s etiap bidang kehidupan, ekonomi dan moral, menjadi independen dari bidang kehidupan lainnya” setiap bidang kehidupan terkonsentrasi pada sebuah bidang kegiatan khusus yang teralienasi dan dengan sendirinya teralienasi dengan bidang kegiatan lainnya*.

*Disadur dalam buku Konsep manusia menurut Marx, Erich Fromm

Demokrasi dengan Sistem Ekonomi Pasar

Demokrasi sebagai sebuah Prosedur kelembagaan untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan melalui suatu persaingan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat (Joseph Schumpeter:1947) telah menjadi suatu landasan baru dalam rangka penyelenggaraan negara. Demam Demokrasi melanda ke semua negara, hingga Samuael P Hutington pun, mengklasifikasikan proses Demokratisasi ini ke dalam 3 fase (gelombang), yaitu Gelombang Demokratisasi Pertama yang terjadi di Eropa pasca kemenangan Sekutu Barat dalam Perang Dunia I, Gelombang Demokrasi Kedua yaitu ketika sekutu barat menang dalam Perang Dunia II serta dipengaruhi oleh timbulnya negara-negara baru (dekolonisasi) yang mengarah pada demokratisasi, gelombang ketiga yang berawal dari kudeta yang terjadi di portugal dan meluas ke negara-negara lain termasuk di Asia, seperti Filipina dan Amerika Latin(Samuel P Hutington: 1989). Namun dalam tulisan ini, tidak akan dipaparkan mengenai gelombang demokratisasi, sebab-sebab, pola-pola dan aktor demokrasinya. Tulisan ini akan membahas hubungan demokarasi dengan sistem ekonomi pasar, pengaruhnya terhadap demokratisasi serta akan dikontekskan dengan perkembangan demokrasi di Indonesia.


Demokrasi debagai sebuah landasan

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa demokrasi telah menjadi suatu sistem pengambilan keputusan politik yang sedang digandrungi oleh sebagian basar negara-negara di dunia. Namun apa yang menjadikan demokrasi menjadi sebuah sistem yang populis? Hal ini dapat kita tinjau ke dalam dua aspek, yang pertama, dapat ditinjau dari nilai-nilai serta perangkat-perangkat demokrasi. Yang kedua ditinjau dari segi perbandingan dengan sistem lain.
Tinjauan pertama, kita akan berbicara tentang nilai yang ada dalam demokarasi. Secara filosofis, demokrasi berasal dari kehendak rakyat (will of the people) untuk mencapai kebaikan bersama ( common goods) (Joseph A Shcumpeter: 1947). Atau dapat dikatakan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, seperti apa yang dikatakan oleh Lincoln. Artinya demokrasi memberi kesempatan bagi rakyat banyak untuk berpartisipasi dalam pembuatan suatu kebijakan publik sehingga keputusan politik yang dicapai mencerminkan kehendak rakyat. Namun sangat sulit menterjemahkan “kehendak rakyat untuk berpartisipasi dalam kebijakan publik” jika dikontekskan dengan demokrasi yang ada dalam sebuah negara yang mempunyai wilayah yang cukup luas, dan jumlah penduduk yang besar. Definisi domokrasi secara filosofif tersebut mungkin lebih cocok digunakan untuk demokrsi yang digunakan secara langsung sperti pada zaman polis-polis di Yunani atau untuk beberapa orang yang berkumpul untuk mencapai suatu kesepakatan besama dalam hal-hal kecil, seperti dalam sebuah keluarga, atau suatu forum diskusi. Namun paling tidak, ada sebuah nilai yang ada dalam demokrasi yangdapat dijadikan landasan, yaitu persamaan politik, artinya semua individu mempunyai hak yang sama untuk menyuarakan suara atau pendapat mereka terhadap sebuah permasalahan untuk mencapai sebuah keputusan.
Dalam konteks negara, untuk mengkonkritkan gagasan demokrasi, berarti kita berbicara prosedur demokrasi. Prosedur yang dimaksud mencakup di dalamnya prinsip (standar), dan lembaga demokrasi. Robert A Dahl dalam bukunya “On Democracy” , bahwa standar atu prinsip demokrasi adalah Partisipasi efektif, Persamaan dalam memberikan suara, pemahaman yang tercerahkan (enlightened understanding), Pengawasan agenda serta pencakupan orang dewasa. Partisipasi efektif dalam dilihat dari hak yang diberikn individu atau warga negara (dalam konteks negara) dalam memberikan pandangan atau pendapatnya terhadap suatu masalah sebelum diambil suatu keputusan. Persaman memberikan suara, berupa hak untuk memberikan suara dalam suatu pengambilan keputusan dalan suara itu dihitung sama tanpa diskriminasi. Pemahaman yang cerah berupa hak dimana seseorang dalam jangka waktu tertentu diberi kesempatan untuk ,e,[elajari terlebih dhulu kebijakan-kebijakan yang yang akan dibuat termasuk alternatifnya serta konsekuensi-konsekuensinya. Pengawasan agenda yaitu hak seseorang untuk dapat mengawasi agenda-agenda atau kebijakan yang telah disepakati. Artinya kebijakan-kebijakan yangtelah dibuat dapat dibuah jika semua anggota/ warga negara menginginkannya. Pencakupan orang dewasa, dalam konnteks ini, warga negara yang sudah dianggap dewasa (dengan kriteria yang disepakati) memiliki hak yang disebut di atas. Untuk mematerilkan beberapa prinsip di atas diperlukan beberapa lembaga demokrasi sebagai bentuk konkrit pelaksanaan demokrasi. Lembaga-lembaga tersebut adalah seperti pemilu yang jujur dan adil, kebebasan berkumpul (otonomi asosiasional) dan berpendapat, kebebasan atau hak memperoleh informasi, para pejabat yang dipilih serta hak kewarganegaraan yang inklusif ( artinya semua hak yang melekat kepada inndividu yang berada dalam sebuah negara berlaku bagi semua golongan dan dijamin oleh undang-undang).
Jika ditinjau dari aspek di atas, demokrasi tampaknya memberikan jaminan terhadap tujuan yang ingin dicapai semua warga negaradalam sebuah negara. Jaminan tersebut memberikan sebuah kebebasan yang bertanggung jawab bagi warga negara untuk menndapatkan tujuannya sebagai indivudu mupun sebagai anggota masyarakat. Pantaslah jika akhirnya demokrasi sangat menjamur di negara-negara di dunia.
Tinjauan kedua, Demokrasi akan diperbandingkan dengan beberapa sistem otriter. Sistem otoriter, baik itu sistem satu partai, junto militer maupun kerajaan absolut, tidak memberikan banyak kebebasan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam sebuah pengambilan kebijakan atau keputusan. Seperti sistem satu partai yang di negara-negara komunis, dimana partai komunis menjadi satu-satunya partai yang berkuasa, partisipasi rakyat sangat terbatas karena segala keputusan dibuat secara sentralistik, dengan asumsi bahwa partai komunis terdiri dari berbagai macam golongan sektor rakyat seperti buruh, petani dan miskin kota. Namun perwakilan-perwakilan ini tidak mengakomodir kepentingan grassroot-nya melainkan selalu mengikutu garis partai. Hal ini terjadi pula dalam rezim junto militer, dimana militer memegang penuh kekuasaan negara dan menetapkan suatu keputusan secara sepihak tanpa melihat aspirasi dari bawah. Dalam pemerintahan jonto militer hak asasi manusia pun, seakan terbaikan. Apalagi jika rakyat memprotes kebijakan yangtelah dibuat oleh pemerintah, maka akan terjadi suatu pola-pola represif untuk membelenggu suara rakyat. Pemilihan pejabat negara pun tidak dilakukan secara fair artinya baik dalam negara komunis maupun pemerintahan militer, pemilihan pejabat negara termasuk kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih secara sentralistik atau dengan cara-cara yang menguntungkan pihak status quo. Sementara demokrasi menawarkan berbagai kebaikan yang tidak ada dalam sistem otoriter, seperti penhormatan dan jamina terhadap penegakkan hak asasi manusia, kebebasan berkumpul dan berpendapat, hak dipilih dan memilih untuk mengisi jabatan dalam negara, adanya persamaan hak politikdan lain-lain. Singkatnya bukan berarti demokrasi merupakan suatu sistem yang sempurna namun banyak kebaikan yang ditawarkan oleh demokrasi yang tidak ada dalam sistem otoriter.

Demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme-pasar

Ada banyak faktor yang mempngaruhi terjadinya demokratisasi, seperti: merosotnya legitimasi sebuah rezim terhadap kepercayaan rakyatnya, perkembangan eknomi dan krisis ekonomi, kebijakan eksternal, efek bola salju yaitu suatu efek yang disebabkan menjamurnya demokratisasi di berbagai negara sehingga negara-negara lain yng non-demokratis juga turut mempelopori demokratisasi di negaranya, dan faktor-faktor lain yang bisa jadi berbeda di setipa negara yang sedang melakukan proses demokratisasi.
Seperti di awal dikatakan bahwa kita hanya akn membahas hubungan demokratisasi dengan sistem ekonomi kapitalisame pasar. Faktor yang paling relevan di bahas adalah tentang perkembangan ekonomi dan krisis ekonomi. Hutington mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara dapat mendorong terjadinya demokratisasi, karena tingkat kesadaran rakyat akan perlunya partisipasi rakyat dalam proses pemerintahan negara juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan juga oleh tingginya tingkat pendidikan akibat kapasistas ekonomi warganya yang tinggi sehingga mampu mengikuti pendidikan dalam taraf yang tinggi, seperti bersekolah di perguruan tinggi (terciptanya kelas menengah perkotaan). Ini yang menjadi salah satu modal bagi demokratisasi. Namun krisis ekonomi juga dapat menjadi faktor pendorong demokratisasi, karena rakyat seakan mengurangi kepercayaannya kepada negara dalam mengelola negara. Namun ada sebuah hal lain yang mendaukun, jika dipandang dari sudut ekonomi, seperti yang dikatakan Dahl, bahwa hampir sebagian besar negara-negara yang mengalami demokratisasi dan dapat meyelamatkan tarnsasi demokrasinya adalah negara yang menrapkan sistem ekonomi kapitalisme pasar. Benarkah itu? Dahl juga mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme pasar bagai dua sisi yang dilematis. Di satu sisi, kaptlisme pasar mendukung demokratisasi karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun di sisi lain kapitalisme pasar yang tidak mempuyai aturan (laisseze Freire), justru merugikan bayak pihak.

Apa arti dari GOOD GOVERNANCE?


Istilah “governance” sebenarnya bukan sesuatu hal baru. Istilah tersebut sudah ada sejak lama seumur dengan mulainya peradaban manusia. Secara sederhana istilah “governance’ diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan dan proses bagaimana keputusan tersebut dijalankan (atau tidak dijalankan). Governance dapat dipakai dalam berbagai konteks seperti corporate governance, international governance, national governance, dan local governance (UN ESCAP Website).

Menurut dokumen kebijakan UNDP: “governance” atau tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka (Dokumen Kebijakan UNDP 1997: Tata pemerintahan menunjang pembangunan manusia berkelanjutan).
Menurut Erna Witoelar (Ketua dewan kemitraan bagi pembaharuan tata pemerintahan), istilah tata pemerintahan mempunyai makna yang jauh lebih luas dari pemerintahan. Tata pemerintahan menyangkut cara-cara yang disetujui bersama dalam mengatur pemerintahan dan kesepakatan yang dicapai antara individu, masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak swasta. Ada dua hal penting dalam hubungan ini, yaitu: (a) semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya dan (b) adanya dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan diantara mereka. Melalui proses diatas diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi didalam masyarakat. Perbedaan yang ada justru menjadi salah satu warna dari berbagai warna yang ada dalam tata pengaturan tersebut (UNDP: Partnership for Governance Reform in Indonesia).
Pemerintah merupakan salah satu aktor (pelaku) dalam governance. Aktor lain yang terlibat dalam governance bervariasi tergantung dari tingkatan pemerintahan yang dimaksudkan. Misalnya di daerah pedesaan, aktor lain selain pihak pemerintah yang ikut serta sebagai aktor dalam governance termasuk tuan tanah yang berpengaruh, perkumpulan petani, LSM, pemimpin agama, partai politik, militer, dan sebagainya. Di daerah perkotaan, keterkaitan pihak yang terlibat dalam governance lebih kompleks lagi. Pada tingkatan nasional, selain semua aktor yang telah disebutkan diatas, media, lembaga donor internasional, perusahaan multi-nasional, dan sebagainya ikut berperan dalam pengambilan keputusan atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Semua aktor selain daripada pemerintah dan militer dikelompokkan bersama sebagai bagian dari “civil society” (masyarakat madani). Di beberapa negara terutama di wilayah perkotaan dan di tingkat nasional, selain masyarakat madani, sindikat kejahatan yang terorgansir juga bisa ikut mempengaruhi pengambilan keputusan. Ada 8 karakteristik utama dari GOOD GOVERNANCE, yaitu: partisipatif, berorientasi pada konsensus, tanggung gugat (accountable), transparan, responsif, efektif dan efisien, kesetaraan, dan mengikuti aturan hukum. Pelaksanaan Good Governance menjamin bahwa tingkat korupsi diperkecil, pandangan minoritas diperhatikan, dan suara dari kelompok marginal didengar dalam proses pengambilan keputusan. Demikian pula, Good Governance selalu responsif terhadap kebutuhan masyarakat, baik pada saat ini ataupun dimasa mendatang.
Sumber : (UN ESCAP Website).