Spiga

Kamis, 01 Januari 2009

Mari Berfilsafat (Bagian 6) "Kejadian Aneh"

Bagaimana temen-temen tentang bab sebelumnya…, menarik kah? Menarik atau tidak, kita akan lanjut ke bab berikutnya OK!.

Suatu pagi, ibu, ayah, dan Thomas kecil, yang berusia dua atau tiga tahun, sedang sarapan di dapur. Tak lama kemudian ibu bangkit dan pergi ke bak cuci, dan ayah…. ya, ayah terbang dan melayang berputar-putar di langit-langit sementara Thomas duduk menonton, coba bayankan Thomas hanya mengatakan “Ayah terbang!” Thomas tentu saja terkejut (karena memang dia sering terkejut). Ayah melakukan begitu banyak hal aneh sehingga masalah terbang di atas meja sarapan itu tidak ada bedanya baginya.



Kini giliran ibu. Dia mendengar apa yang dikatakan Thomas dan berbalik dengan tiba-tiba. Tahukah kalian bagaimana reaksinya melihat ayah melayang-layang dengan acuh di atas meja dapur?

Dia menjatuhkan toples selai di atas lantai dan menjerit ketakutan. Dia bahkan mungkin memerlukan perawatan medis begitu ayah kembali duduk dengan hormat ke kursinya. Menurut kalian mengapa Thomas dan ibunya bereaksi dengan cara begitu berbeda?

Semuanya ada hubungannya dengan kebiasaan. Ibu sudah tahu bahwa orang tidak dapat terbang. Thomas belum. Dia belum yakin apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan di dunia ini.

Tapi bagaimanakah dengan dunia itu sendiri? Apakah kalian kira ia dapat melakukan apa yang dilakukannya? Dunia juga melayang-layang di angkasa.

Sedihnya, bukan hanya kekuatan gaya berat sajalah yang terbiasa kita rasakan ketika kita tumbuh. Dunia itu sendiri dengan serta merta menjadi kebiasaan. Tampaknya seakan-akan dalam proses pertumbuhan kita kehilangan kemampuan untuk bertanya tentang dunia. Dan dengan berlaku demikian, kita kehilangan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang oleh para filosof diusahakan untuk dipulihkan. Sebab disuatu tempat dalam diri kita sendiri, ada sesuatu yang mengatakan pada kita bahwa kehidupan merupakan suatu misteri yang sangat besar. Inilah sesuatu yang pernah kita alami, jauh sebelum kita belajar untuk memikirkan itu.

Meskipun pertanyaan-pertanyaan filosofis itu mengganggu benak kita semua, tidak semua kita menjadi filosof. Karena berbagai alas an, kebanyakan orang disibukan dengan permasalahan sehari-hari sehingga keheranan mereka terhadap dunia tersuruk kebelakang. (Mereka merayap jauh ke dalam bulu-bulu kelinci, meringkuk dengan nyaman, dan tinggal di sana sepanjang hidup mereka)

Bagi anak-anak, dunia dan segala sesuatu di dalamnya itu baru, sesuatu yang membangkitkan keheranan mereka. Tidak demikian halnya bagi orang-orang dewasa. Kebanyakan orang dewasa menerima dunia sebagai sesuatu yang sudah selayaknya demikian.

Di sinilah tepatnya para filsof itu menjadi tokoh istimewa. Seorang filosof tidak pernah merasa terbiasa dengan dunia. Baginya, dunia selalu tampak sedikit tidak masuk akal dan membingungkan, bahkan penuh teka-teki. Para filosof dan anak-anak kecil karenanya sama-sama memiliki indra yang penting. Kalian boleh mengatakan bahwa sepanjang hidupnya seorang filosof selalu menjadi seorang anak yang peka.

Maka kini kita harus memilih. Apakah kalian seorang filosof yang mau bersumpah tidak akan pernah menjadi begitu?

Jika kalian hanya menggelengkan kepala, tidak mengakui diri kalian sebagai seorang anak ataupun seorang filosof, maka kalian telah menjadi begitu terbiasa dengan dunia sehingga dunia itu tidak lagi mengherankan. Waspadalah! Kalian berada diatas lapisan es yang tipis. Dan inilah mengapa sebabnya kenapa kita belajar filsafat. Kita semua tidak ingin berjajar bersama mereka yang apatis dan acuh tak acuh. Saya hanya ingin kita semua selalu merasa ingin tahu.

3 komentar:

Linda mengatakan...

waduh kerennn yaa...
nice posting...^^

Anonim mengatakan...

MAntaf..:)
slam kenal..bro

octiar kusumawardani mengatakan...

sepertinya aku adalah seorang filosofi.
he he he.. aku gak begitu yakin.